Selasa, 08 Februari 2011

Dimanakah Kebahagiaan Itu?





Suatu hari ada seorang teman bertanya, "Untuk apa kita hidup?" Kebetulan bukan saya yang ditanya. Karena hanya ada berapa orang di tempat itu, (sedikit, tidak terlalu banyak) akhirnya saya mendapat giliran juga untuk menjawabnya.
Sebelum saya menjawab pertanyaan itu, saya lebih dulu memilih untuk  mempertanyakan kembali pertanyaan itu; "Untuk apa kita hidup? Atau apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup ini?"
Dia ternyata lebih memilih untuk menanyakan keduanya. Mungkin ingin tahu yang lebih jelasnya; untuk apa kita hidup dan apa yang sebenarnya kita cari dalam hidup ini?
Entah pertanyaan itu apakah benar-benar ingin dia tanyakan atau hanya sekedar iseng, saya sendiri tidak tahu. Yang jelas saya tergugah untuk menjawab pertanyaan itu, meski itu timbul dari orang yang umurnya lebih tua dari saya.
Dengan bahasa sedikit diplomatis saya mencoba menjawabnya, "Kalau untuk apa kita hidup, saya yakin semua orang –tanpa terkecuali, mengharapkan dan menginginkan kebahagiaan." Karena menurut saya hal itu seakan sudah menjadi keniscayaan bagi setiap insan; bahwa apapun yang dilakukannya adalah demi kebahagiaanya semata.
Sebodoh-bodohnya orang, sejelek-jeleknya makhluk, mereka masih menginginkan dan selalu memdambakan kebahagiaan. Tak terkecuali  seorang sufi yang kehidupnya memilih untuk mengasingkan diri dari manusia. Menghindar dari germerlapnya dunia.
"Namun jika yang dipertanyakan, Apa yang sebenarnya kita cari, dengan sudut pandang yang berbeda, jawabannya pun akan berbeda-beda. Mungkin ada yang menjawab; harta, pangkat, atau yang lain. Tergantung sejauh mana dia memaknai dan mengetahui arti kehidupan ini." Lanjut saya lagi.
Manifestasinya mungkin masih sama; mencari kebhagiaan. Sesuatu yang dapat membuatnya bahagia. Namun sesuatunya itulah yang berbeda. Bagi yang menjawab harta, itulah kebahagiaan di mata mereka. Yang menjawab pangkat pun demikian.
Dengan perbedaan sudut pandang itulah akhirnya menelurkan jawaban yang berbeda pula sesuai kepahamannya. Hanya saja kalau kita yang notabene santri, tentu bukan sekedar itu yang kita inginkan. Tanpa mengesampingkan dunia, Sa'âdah fil akhirah tentu lebih kita prioritaskan.
Jawaban dari kedua pertanyaan itu hampir serupa namun saya pribadi memilih untuk membedakanya. Karena jika yang ditanyakan untuk apa kita hidup –menurut saya pribadi, jawabannya sudah pasti. Tanpa perlu pemilahan. Untuk sebuah kebahagiaan.
Lain halnya jika yang dipersoalkan apa sebenarnya kita cari? Dengan perbedaan cara pandang terhadap sesuatu yang dianggap dapat membahagiakannya akhirnya memunculkan berbagai variasi jawaban.
Di sadari atau tidak, kita harapkan atau pun tidak, apa yang kita lakukan semuanya kembali kepada kita. Demi diri kita sendiri. Meski kadang juga mengharapkan kebahagiaan orang lain. Dan saya kira tak ada satu pun makhluk di dunia ini memdambakan kesengsaraan selamanya. Sampai kehidupan di akhirat nanti (bagi yang meyakininya).
Agama pun –jika kita kaitkan dengan agama, melarang kita untuk mengedepankan orang lain, sementara diri kita sendiri juga membutuhkan. Apalagi yang berhubungan dengan Ibadah. "Jangan seperti lilin", kata orang bijak.
*****
Pertanyaan serupa bisa saja juga menjadi pertanyaan teman-teman yang lain. Entah yang mereka tanyakan langsung –seperti seorang teman tadi, atau yang hanya disimpan sendiri. Menunggu jawaban dari ilham. Kerena orang yang tak pernah mempertanyakan (memikirkanya), justru orang itulah yang perlu dipertanyakan.
"Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu," demikinalah sabda Nabi Muhammad saw.. Sejauh mana dia mengenal dirinya sendiri, sejauh itulah dia mengenal Tuhannya. Sebelum menjawab pertanyaan di atas (judul) ada yang perlu di jawab terlebih dulu, sudahkah kita mengenal dan memahami jati diri kita sendiri dan kehidupan ini? {}
Comments
0 Comments