Pikiranku
beberapa hari ini penuh dengan kekesalan dan entah apa saja. Kekesalan pada
diri sendiri. Merasa tertegur, merasa bersalah, dan perasaan kalut semacamnya.
Penyebabnya
bisa dibilang sepele. Entah apa mulanya dan apa yang sebenarnya lagi
dibahas–aku lupa-. Waktu mengajar di kelas Ustadku mengatakan, “Nahwu koyok
kompo, fikeh ban jero, tasawuf ban jobone. Dadi nek cekelani gur Nahwu wae, yo wes
podho wae nek nyang endi-endi gowoni kompo tok. Ban-e renek.
*”
(Nahwu itu ibarat pompa angin, fiqh ban dalam, dan tasawuf ban luarnya.
Jadi jika hanya berpegang pada nahwu saja, ya seperti kemana-mana hanya membawa
pompa, tanpa ada bannya.) dan diakhiri dengan tawa khasnya.
Kalimatnya
nggak terlalu panjang, perumpaannya juga tak begitu sulit, hanya saja yang
merasa bahwa peganganya selama ini hanya Nahwu saja, atau belum bisa
mempraktekkan di luar ilmu Nahwunya, maka kalimat itu terasa sangat memukul.
Baju baja sekalipun aku yakin juga tembus. Kenapa?
Sebab
tak bisa aku pungkiri bahwa selama ini aku masih selalu bersembunyi dibalik jubahku sendiri. Enggan melepasnya.
Dan kini, kenyataan yang aku tutupi dengan jubahku, untuk membela diri saat aku
berfikir akan hal itu ditelanjangi bulat-bulat. Tak ada lagi tempat untuk
bersembunyi, menutupi kenyataan bahwa aku ini telanjang, aku kosong, hampa, tak
berisi. “Aku baru punya pompa, sedang sepedaku belum ada ban dalam maupun
luarnya.
·
Perumaan ini hal baru bagiku. Namun sejauh pemahamanku, perumpamaan itu
sangat pas. Tepat sesuai porsinya.
ü
Nahwu; adalah gramatika bahasa arab. Ulama biasa menyebut Nahwu –dan
Shorof-nya-, sebagai ‘ilmu alat. Sebagaimana yang kita pahami dari kata “ilmu
alat” ini. Ilmu berarti pengetahuan dan alat adalah alat, piranti, atau sarana.
Artinya Nahwu ya hanya berhenti di situ, sebagai alat
memahami perintah Tuhan yang disampaikan dalam al-Qur’an ataupun yang
disampaikan melalui lisan Nabinya (al-Hadits). Bukan sebagai tujuan. Tapi hanya
sarana untuk memahami perintah Tuhan dan kemudian untuk dilaksanakan.
Seperti pompa yang fungsinya hanya untuk mengisi
angin, bukan untuk berkendara.
ü
Fiqh; biasa diartikan dengan syariat. Belajar fiqh, berarti belajar
syariat Islam. Atau mahasiswa yang mengambil jurusan syariat, itu berarti
mahasisiwa yang sedang mempelajari ilmu fiqh ini.
ü
Tasawuf; terbentuk dari kata Shafia, artinya bersih. Arti singkatnya
tasawuf adalah pagar untuk menjaga agar amalan-amalan kita tidak ditolak
(diterima). Seperti harus iklhas dan lain sebagainya
ü
Tak jarang kitab fiqh yang juga telah banyak menyinggung tasawufnya. Dan
akan kentara benar-benar berbeda ketika dicontohkan dalam permasalahan
–diantaranya-, salat. Jika fiqh tanpa memasukkan tasawuf menghukumi sah
salatnya orang yang tidak khusyu’, dalam arti tidak harus mengulanginya lagi
meskipun salatnya tidak diterima. Namun dalam pandangan tasawuf, salat tanpa
khusyu’ adalah tidak sah, harus diulangi. Sebab apa gunanya salat jika tidak
diterima. Sebenarnya sama-sama menghukumi tidak diterima salat tanpa khusyu’,
yang membedakan hanya dalam permasalan sah atau tidaknya. Diulang atau tidaknya
saja.
ü
Dan sebagaimana keterkaitan antara ban luar dan ban dalam, fiqh dan
tasawuf juga saling berkaitan dan harus berjalan bersama. Tidak boleh hanya
salah satunya saja. Seperti diungkapkan oleh seorang ulama, kurang lebih
terjemahannya –kalau tidak salah-, orang yang hanya ber-fiqh Zindiq