Tak tahu harus kumulai dari
mana aku ceritakan kisah piluku. Sebelum
akhirnya aku putuskan untuk mencoret-coret lembaran lusuh ini, keadaanku
sungguh memprihatinkan. Bukan karena sakit atau tak makan selama seminggu. Yang
memprihatinkan sesungguhnya bukan aku dan ragaku, melainkan jiwa dan hati yang
ada di dalamnya. Semua orang di dekatku mengira aku masih seperti biasa. Tapi
tidak batinku sendiri. Aku sungguh tersiksa dengan keadaan ini. Kuharap dengan
menuliskannya sedikit terobati.
Diantara
jutaan bahkan trilyunan makhluk ciptaan Tuhan di dunia ini, hanya kau yang
tahu. Hanya orang yang menemukan tulisan lusuh ini dan mau membacanya. Kaulah
orang sepesial bagiku. Terimakasih karena kau mau mendengarkan keluh kesahku.
Meski aku takkan tahu kapan kau akan menemukannya, dan apakah lembaran ini
masih utuh atau tidak, namun aku cukup bahagia kau mau membacanya. Sekali lagi
terimakasih.
Malam
ini benar-benar puncak kesuntukanku. Tempat yang dulu selalu membuatku
tersenyum, kini tak lagi berarti. Aku
sungguh tak tahan dengan suasana. Suasana hati yang tak tentu arah. Beban
pikiran ini terlalu berat. Tapi aku sendiri tak tahu apa penyebabnya. Bagaimana
mungkin? Aku sendiri tidak tahu.
Kupandangi
bulan yang hanya tampak setengah, selebihnya ditutupi awan hitam. Langit biru
yang bertebaran bintang kelihatan di bagian barat. Daun-daun melambai lemah
kala angin bertiup. Suasana yang tidak jelek meskipun juga tak begitu indah.
“Ada yang kurang,” hatiku berbisik. “Kenapa tak pernah tampak lagi
kunang-kunang yang biasa menari begitu indahnya di kegelapan malam?”
Seingatku,
terakhir aku melihatnya saat masih di kampung. Kala kusendiri, kunang-kunanglah
yang selalu menemaniku menghabiskan malam. Bulan dan bintang memandangiku penuh
dengan kecemburuan, “Alangkah indahnya ciptaan Tuhan yang satu ini,” mungkin
itu yang mereka katakan. Itulah mengapa aku ingin pulang. “Tapi untuk apa?” pikiranku bertanya-tanya.
Mencoba mencari alasan yang tepat. Lucu
rasanya, aku pulang hanya untuk menghabiskan malam bersama kunang-kunang
Ah,
tidak. Aku harus melupakannya. Posisiku yang sedang menuntut ilmu, tak pantas
jika aku selalu mengingatnya. Kulangkahkan kakiku menjauh dari tempat
tinggalku. Kamar kecil berukuran enam kali delapan yang sesak. Tak kurang dari tiga puluh orang yang menempatinya.
Tak ada harapan lagi menemukan kedamaianku di sana. Mungkin di Gubuk Tua aku bisa terhibur.
***
Teman-temanku
masih asik bersendau gurau melepas kepenatan. Ada juga yang sedang khusuk
membaca. Sesekali terdengar perdebatan diantara mereka. Seperti biasa,
malam-malamku terlewati dengan suasana yang tak jauh berbeda dari sebelumnya.
Bahkan bisa dikatakan sama. Seusai jama’ah Isak, tanpa komando mereka kembali keruangan ini.
Belajar bersama, atau sendiri-sendiri, tergantung lebih suka yang mana. Seharian
penuh mereka habiskan di luar. Mengerjakan kegiatan-kegiatan mereka. Aku
sendiri yang tak pernah pergi lama. Selain ke sekolah, aku keluar kamar waktu
buang hajat saja.
Itulah
sedikit cerita tempat tinggalku yang saat ini aku telah meresa bosan dengannya.
Gubuk Tua inilah
kehidupan baruku. Dinding yang lusuh, atap tak terawat, dan tak jarang kami
merasa masih kehujanan. Butiran-butiran air menyusup di sela-sela genting
kunonya. Tapi aku merasa bahagia. Karena di sini aku punya kesibukan dan tantangan
yang membuat hidupku lebih hidup.
Kuhidupkan
komputer. Mencari lagu kesukaanku. Tapi malam ini terlalu sepi. Alunan musik
yang aku dengarkan tak lagi berpengaruh pada hati yang tengah merasa sunyi. Ah, mengapa? Gubuk Tua hanya mengejekku!
***
Aku
menjalani masa transisi justru saat usiaku hampir matang. Ketika aku sudah
layak untuk membangun mahligai rumah tangga. Umur yang semakin tua ternyata tak
menjaminku untuk tampil lebih
dewasa. Berfikir lebih matang. Dan satu hal lagi yang
mungkin menjadi akar masalah terbesarku, aku ingin tak pernah lagi melakukan
kesalahan.
Secara
teoristis, sebenarnya kenyataan ini sangat memalukan. Apalagi jika menengok
sisi pendidikanku yang tak bisa dianggap remeh. Meski hanya di Madrasah Aliyah,
semasa remaja aku pernah juga dijejali pelajaran SMA. Pernah mengeyam dan
mejalani sebagai murid sekolah
kebanggaan di desaku. Ketika banyak teman-temanku yang memutuskan untuk tak
meneruskan belajarnya lagi (kuliah), karena persoalan biaya, hanya aku seorang
diri yang melanjutkan bergerilya mencari ilmu. Meski bukan ke perguruan tinggi.
Tapi mestinya, di tempat ini, aku justru bisa lebih matang, lebih berguna, dan
lebih bijaksana dalam menjalani hidup.
Ya,
pendidikan baruku ini adalah model pendidikan tertua milik bangsa ini.
Pesantren, begitu orang sering menyebutnya. Dan tak dapat dipungkiri, walaupun
penguasa negeri ini
mengucilkannya, peran penting model pendidikan ini justru yang lebih
berpengaruh dan kemanfaatan yang dirasakan masyarakat umum lebih nyata.
(Tapi maaf tidak kusebut nama pesantren yang aku maksud. Bukan apa-apa, hanya saja aku segan untuk
menyebutnya. Nama yang kotor ini bersanding dengan orang-orang mulia. Malu.
Sungguh malu.)
Yang
mengherankan dari masyarakat sendiri –pada umumnya, meski mereka sangat mengharapkan
sosok santri di wilayahnya, tapi mereka sendiri enggan untuk menyekolahkan
anaknya sendiri ke pesantren. Mereka seolah menanyakan mengapa anak-anak di
sini “Nggak ada yang mau jadi santri” namun tak pernah menanyakan
dirinya sendiri atau anaknya kenapa mereka tidak mau. Maklum secara matematis
yang mereka fikirkan benar, namun bukan berarti aku ikut mengamininya. Sama
sekali tidak.
Hitungan
mereka itu di mataku tak lebih dari hitungan anak kecil yang baru mengenal
tambah-menambah, diberi tugas untuk mengalikan. Betapa pun kita memberitahu
bahwa lima dikalikan enol sama dengan enol, sebelum benar-benar memahami arti
perkalian, mereka akan bersikeras bahwa jawaban kita pun salah. Meski kenyatannya
mereka juga tak mengetahui berapa jawaban yang benar. Karena menurut cara
pandang mereka, perkalian itu selalu lebih banyak dibandingkan dengan
tambah-menambah. Apalagi dalam kasus itu, justru perkalian lebih rendah
hasilnya dari pada penambahan. Hal ini jelas belum masuk dalam pikiran
logisnya.
***
“Fiq, hidup
ya nggak bisa semau guwe gitu. Sebebas-bebasnya hidup
tetap ada aturanya. Nggak bisa kita tentukan sendiri,” ucapku menasihati
temanku. “Siapa sih yang mau hidupnya sengsara? Nggak ada orang yang mau
Fiq. Semua orang inginnya bahagia,” lanjutku penuh semangat. “Kamu mulai
sekarang harus berubah. Apalagi kamu sekarang tinggal di pondok yang namanya saja sanggup menggemparkan jagat.
Orang baru mendengar kita mondok di sini, kita sudah dianggap bisa segalanya.
Intinya kamu mulai sekarang harus berubah. Kebahagiaan yang kamu kejar, yang
kamu cari, itu tak bisa kau dapat dengan kemudahan seperti ini.”
“Robert
G. Ingersoll bilang, ‘Cara untuk berbahagia
ialah dengan membuat orang lain berbahagia.’ Itu berarti juga pengorbanan dari
kita. Kalau menurut konsep Aly Haidar, ‘Nikmat yang akan didapatkan dalam sebuah
proses akan sepadan dengan kesusahan
yang telah dialami. Begitu juga kesengsaraan akan dibalas setimpal sesuai kenikmatan
yang telah tergapai.’ Nah, intinya kesengsaraan itu juga menjadi bahan utama
untuk menjadikan kita bahagia,” panjang lebar ceramahku.
“Aku
ingin ada orang yang bisa merubahku,” Afiq mecoba menjelaskan masalahnya.
“Oh,
Jadi kamu pengennya yang instan, yang cepet, nggak mau berubah
sendiri?” sejenak aku berhenti untuk mengambil nafas.
“Ya nggak
bisa seenaknya gitu. Tetep harus ada usaha!”
“Ya
nunggu keajaiban saja!” sanggahnya.
“What?
Keajaiban! Kamu tahu Fiq, keajaiban yang terjadi kepada seseorang itu prosesnya
seperti apa? Tau-tau ada gitu. Tau-tau berubah. Tidak Fiq. Nggak gitu.
Seorang yang mendapat keajaiban itu juga mengalami pengorbanan yang mahal. Maaf,
bukan bermaksud untuk mendoakan Fiq, ini hanya contoh, orang yang berubah itu
adakalanya ibunya meninggal, orang yang dicintainya telah tiada dan lain-lain.
Akhirnya dia sadar dan mau berbenah diri, menuju kehidupan yang baik.”
“Sekali
lagi ini bukan untuk mendoakan, kalau kamu bersikeras untuk menunggu keajaiban,
berarti juga…”
“Sudah-sudah
jangan diterusin,” pintanya sebelum kesimpulanku selesai.
Itulah
sekelumit sepak terjangku. Begitu lancar bila bertutur kata. Sok pintar
mencarikan jalan keluar bila ada
seseorang yang sedang menghadapi probema kehidupan. Tak perlu tahu dia sebenarnya membutuhkan hal itu atau
tidak. Namun mengapa aku tak mampu menasehati diriku sendiri. Tak bisa mencari
solusi sendiri kala aku sedang dirudung duka.
***
Aku
tertatih, terpuruk, dan mencoba lagi untuk berdiri. Menatap rahasia sang awan
yang terus bergelayutan. Ingin membuncahkan hujan, namun angin selalu
menampiknya. Menghantarku ke arah yang tak kuketahui di mana rimbanya. Dan aku
tertatih-tatih lagi. Bahkan hampir tak mampu lagi aku gerakkan pergelangan kaki
ini. Saat seharusnya kehidupanku telah matang, justru di situ aku seperti anak
yang ditinggal Ibunya. Bingung hendak berbuat apa.
Ketika
teori telah menumpuk, seakan otak tak mampu lagi untuk menampungnya, saat itu
justru kurasakan kegundahan dan kehampaan. Semakin aku tahu di mana saja jalan
itu ada, semakin aku tak tahu aku harus menentukan pilihan yang mana jalan yang
harus aku tempuh. Mungkin tepatnya bukan tak tahu, tapi tak mampu. Karena aku sendiri sebenarnya enggan,
alias tak mau. Tak mau untuk berkorban, tak mau untuk berbuat lebih, tak mau
menanggung sedikit kesengsaraan, meski aku yakin itu manis buahnya.
Bahkan
aku telah bosan dengan kehidupan ini, meski itu bukan sebuah keputusasaan. Aku
punya Tuhan dan aku yakin bahwa Tuhan itu ada, tapi aku semakin tak bisa
merasakan keberadaan-Nya. Aku juga yakin
segala sesuantu terjadi atas kehendak dan kontrol-Nya, aku juga yakin jika Dia
takkan pernah salah akan apa yang Dia lakukan. Aku juga yakin Dia lebih tahu
dan lebih mengasihi ciptaan-Nya dari pada semua manusia di bumi ini. Karena aku
juga percaya, sebagus apapun kasih sayang seorang mahkluk, hakikatnya itu juga
kasih sayang-Nya.
***
Malam
masih begitu pekat. Terdengar suara jangkrik yang mengiringi langkahku.
Menyebalkan, mengapa mereka seolah menanyakan apa yang membuatku nekat pulang.
Bahkan mengejekku, “Mengapa harus pulang? Padahal kami di sini siap menemanimu.
Apa karena kami tak mampu memberi keindahan seperti yang biasa kau nikmati
dengan ‘kunang-kunang’mu?”
“Apa
pedulimu. Kalian tak tahu apa yang sebenarnya sedang kualami,” teriak hatiku
memberontak.
Segera
aku percepat laju langkahku. Tak perlu aku mendengar apa kata mereka. Biarlah.
Aku tetap pulang. Mujurnya, mobil yang aku tunggu segera datang. Tak perlu aku
menunggu berlama-lama. Dengan terpaksa
aku pergi meninggalkan pondokku tercinta ini.
“Selamat
tinggal! See you again. Doakan aku selamat dan segera kembali mengais ilmumu
lagi,” ucapku dalam hati.
“Hey,”
suara mengagetkanku. “Mengapa hanya karena kunang-kunang itu kau harus pulang?”
kutengok kanan-kiri. Kosong. Penumpang baru aku satu-satunya. Ah! Aku hanya
berhalusinasi.
***
“Ada apa kak, kalau lagi suntuk sharing dong. Dengan
saling berbagi, siapa tahu beban hidup yang berat ini bisa berkurang. Manusia
hidup itu saling membutuhkan, wajar juga kalau nantinya saling merepotkan.
Itulah gunannya teman,” serbuku, saat Tina, kakak angkatku, menelpon.
“Nggak
ah, takut ganggu.”
“Oh,
kalau memang masih nganggep aku orang lain ya udah nggak papa kok!”
“Bukan,
bukan gitu.”
“Terus?”
Dia
terdiam lama, “Aku lagi sebel dek, kakak lagi kecewa.”
“Kenapa
kak?”
“Kakak
merasa dihianatin. Setiap kali dia janji selalu aja diingkari.”
“Oh!”
Aku
diam sejenak membiarkan fikirannya melayang.
“Emang
yang nyebabin kecewa itu apa sih kak?” Tanyaku pura-pura nggak
tahu.
“Yang
nyebabin kecewa? Ya banyak. Merasa dihianatin, diremehin, dan banyak lah.”
“Salah
kak,” jawabku spontan. Aku diam lagi memberi kesempatan berfikir dan menyangkal
pendapatku.
“Ya nggak
seratus persen salah sih kak, cuma kurang tepat aja menurutku. Ada hal yang
lebih dominan lagi kok dari itu. Kecewa
tidaknya kita, itu tergantung seberapa pengharapan dan kepercayaan yang kita
berikan. Itulah letak salahnya, bukankah kita sesama manusia tahu, bahwa porsi kita
dalam menggapai dan merencanakan sesuatu hanya sebatas usaha, dan selebihnya
milik yang menciptakan kita? Jadi ya kurang pas saja kalu kita berharapnya kepada
sesama makhluk. Apalagi harapan yang
berlebihan.”
Aku
selalu pinter bicara kala menghadapi orang lain, Padahal aku sendiri masih nggak karuan. Aku juga
masih bingung menjalani hidupku saat ini. Bahkan kasus yang sama juga pernah kualami
sendiri. Aku hanya bisa menasehati seseorang, tapi tidak diriku sendiri.
***
Kuterbangun
dari mimpi panjangku. Tak terasa sudah sampai. Masih belum tahu harus menjawab
apa saat ditanya tujuan kepulanganku. Biasanya aku hanya pulang
saat liburan saja. Yang jelas tak
mungkin aku jawab hanya sekedar untuk bermain-main dengan kunang-kunang.
Terlalu konyol.
Rumahku
tampak sepi. “Ada apa
le, kok tau-tau pulang! Nggak lagi ada apa-apa to?”
Tanya Ibuku saatku menghampirinya di dapur. Rasa capek perjalanan sudah hilang.
Begitu aku datang Ibu langsung menyuruhku makan dan istirahat.
“Nggak
kok Bu. Cuma lagi pengen pulang aja.” Jawabku sekenanya. Menutupi segala
kegundahan hati.
“Oh,
ya sukur kalau cuma mau pulang aja. Mau lama di rumah?”
“Nggak
Bu, paling lima-lima hari.”
“Tadi
Eyang tahu kalau kamu pulang. Kamu sama Eyang suruh main ke rumah Eyang sebelum
kembali ke pondok.”
Tumben
Eyang nyuruh aku main. Biasanya tak perlu disuruh aku juga main. Minta doa
restunya.
Sore
itu juga aku main kerumah Eyang. Penasaran, ada apa sebenarnya? Rumahnya masih
seperti dulu. Sekilas rumah ini sama dengan Gubuk Tua yang ada di pondok.
Bangunan kunonya identik dengan peninggalan Belanda. Hanya saja rumah Eyang
lebih terawat. Pintunya tidak ditutup, berarti Eyang
lagi di rumah. Aku langsung nylonong masuk,
“Assalamualaikum…”
Duuggh…
“Auuw…” kepalaku sakit. Pintu Eyang terlalu rendah. Aku lupa.
“Waalaikumussalam…”
jawab Eyang sambil tertawa melihatku kesakitan.
“Kok belum liburan udah
pulang. Apa nggak dikirim lagi?” sambut Eyang di depan pintu, sebelum
aku sempat masuk rumah.
“Nggak kok Yang,
lagi suntuk aja di pondok. Pengen refresing Yang.”
“Ayo masuk,” ajak Eyang.
Duuggh…
“Auuw…”
lagi-lagi kepalaku terjedot pintu Eyang. “Dasar Rumah Tua!” makiku. Eyang hanya
memandangiku sambil tertawa. Lebih keras dari yang tadi.
“Kok
malah diketawain sih Yang? Sakit nih!” aku protes.
“Ya nggak
papa. Cuma heran saja sama kamu.”
“Heran gimana? Lha wong Pintu
Eyang yang terlalu pendek! Perasaan dulu Nggak sependek ini.”
“Ha ha ha ha…,” tawa Eyang
semakin menjadi. “Bukan pintu Eyang yang berubah atau direndahkan. Tapi kamu
yang sudah berubah. Mentang-mentang sudah tinggi, lupa. Sudah Nggak bisa
lagi menundukan kepala. Mestinya kalau kamu sudah merasa tinggi, kamu juga
harus sadar dan tahu bagaimana caranya menundukkan kepala, biar kepalamu nggak
kejedot. Sesuatu yang rendah itu tidak bisa menggapi ke atas. Yang merasa
tinggi harus belajar membungkuk, biar hubungan yang bawah dengan yang di atas
masih terjalin. Biar nggak merasa hidup ini sendirian. Kalau sudah
merasa sendiri, hidup tidak tenang, sumpek dan tidak betah dengan rutinitas
yang ada.”
Ah,
entah apa yang dibicarakan Eyang. Apa hubungannya sumpek
dengan kepalaku kejedot pintu. Aku semakin pusing!!!