Jumat, 13 Januari 2012

Rumah Tua Eyangku


Tak tahu harus kumulai dari mana aku ceritakan kisah piluku. Sebelum akhirnya aku putuskan untuk mencoret-coret lembaran lusuh ini, keadaanku sungguh memprihatinkan. Bukan karena sakit atau tak makan selama seminggu. Yang memprihatinkan sesungguhnya bukan aku dan ragaku, melainkan jiwa dan hati yang ada di dalamnya. Semua orang di dekatku mengira aku masih seperti biasa. Tapi tidak batinku sendiri. Aku sungguh tersiksa dengan keadaan ini. Kuharap dengan menuliskannya sedikit terobati.
Diantara jutaan bahkan trilyunan makhluk ciptaan Tuhan di dunia ini, hanya kau yang tahu. Hanya orang yang menemukan tulisan lusuh ini dan mau membacanya. Kaulah orang sepesial bagiku. Terimakasih karena kau mau mendengarkan keluh kesahku. Meski aku takkan tahu kapan kau akan menemukannya, dan apakah lembaran ini masih utuh atau tidak, namun aku cukup bahagia kau mau membacanya. Sekali lagi terimakasih.

***
Malam ini benar-benar puncak kesuntukanku. Tempat yang dulu selalu membuatku tersenyum, kini tak lagi berarti. Aku sungguh tak tahan dengan suasana. Suasana hati yang tak tentu arah. Beban pikiran ini terlalu berat. Tapi aku sendiri tak tahu apa penyebabnya. Bagaimana mungkin? Aku sendiri tidak tahu.
Kupandangi bulan yang hanya tampak setengah, selebihnya ditutupi awan hitam. Langit biru yang bertebaran bintang kelihatan di bagian barat. Daun-daun melambai lemah kala angin bertiup. Suasana yang tidak jelek meskipun juga tak begitu indah. “Ada yang kurang,” hatiku berbisik. “Kenapa tak pernah tampak lagi kunang-kunang yang biasa menari begitu indahnya di kegelapan malam?”
Seingatku, terakhir aku melihatnya saat masih di kampung. Kala kusendiri, kunang-kunanglah yang selalu menemaniku menghabiskan malam. Bulan dan bintang memandangiku penuh dengan kecemburuan, “Alangkah indahnya ciptaan Tuhan yang satu ini,” mungkin itu yang mereka katakan. Itulah mengapa aku ingin pulang. “Tapi untuk apa?” pikiranku bertanya-tanya. Mencoba  mencari alasan yang tepat. Lucu rasanya, aku pulang hanya untuk menghabiskan malam bersama kunang-kunang
Ah, tidak. Aku harus melupakannya. Posisiku yang sedang menuntut ilmu, tak pantas jika aku selalu mengingatnya. Kulangkahkan kakiku menjauh dari tempat tinggalku. Kamar kecil berukuran enam kali delapan yang sesak. Tak kurang dari tiga puluh orang yang menempatinya. Tak ada harapan lagi menemukan kedamaianku di sana. Mungkin di Gubuk Tua aku bisa terhibur.
***
Teman-temanku masih asik bersendau gurau melepas kepenatan. Ada juga yang sedang khusuk membaca. Sesekali terdengar perdebatan diantara mereka. Seperti biasa, malam-malamku terlewati dengan suasana yang tak jauh berbeda dari sebelumnya. Bahkan bisa dikatakan sama. Seusai jamaah Isak, tanpa komando mereka kembali keruangan ini. Belajar bersama, atau sendiri-sendiri, tergantung lebih suka yang mana. Seharian penuh mereka habiskan di luar. Mengerjakan kegiatan-kegiatan mereka. Aku sendiri yang tak pernah pergi lama. Selain ke sekolah, aku keluar kamar waktu buang hajat saja.
Itulah sedikit cerita tempat tinggalku yang saat ini aku telah meresa bosan dengannya. Gubuk Tua inilah kehidupan baruku. Dinding yang lusuh, atap tak terawat, dan tak jarang kami merasa masih kehujanan. Butiran-butiran air menyusup di sela-sela genting kunonya. Tapi aku merasa bahagia. Karena di sini aku punya kesibukan dan tantangan yang membuat hidupku lebih hidup.
Kuhidupkan komputer. Mencari lagu kesukaanku. Tapi malam ini terlalu sepi. Alunan musik yang aku dengarkan tak lagi berpengaruh pada hati yang tengah merasa sunyi. Ah, mengapa? Gubuk Tua hanya mengejekku!
***
Aku menjalani masa transisi justru saat usiaku hampir matang. Ketika aku sudah layak untuk membangun mahligai rumah tangga. Umur yang semakin tua ternyata tak menjaminku untuk tampil lebih dewasa. Berfikir lebih matang. Dan satu hal lagi yang mungkin menjadi akar masalah terbesarku, aku ingin tak pernah lagi melakukan kesalahan.
Secara teoristis, sebenarnya kenyataan ini sangat memalukan. Apalagi jika menengok sisi pendidikanku yang tak bisa dianggap remeh. Meski hanya di Madrasah Aliyah, semasa remaja aku pernah juga dijejali pelajaran SMA. Pernah mengeyam dan mejalani sebagai  murid sekolah kebanggaan di desaku. Ketika banyak teman-temanku yang memutuskan untuk tak meneruskan belajarnya lagi (kuliah), karena persoalan biaya, hanya aku seorang diri yang melanjutkan bergerilya mencari ilmu. Meski bukan ke perguruan tinggi. Tapi mestinya, di tempat ini, aku justru bisa lebih matang, lebih berguna, dan lebih bijaksana dalam menjalani hidup.
Ya, pendidikan baruku ini adalah model pendidikan tertua milik bangsa ini. Pesantren, begitu orang sering menyebutnya. Dan tak dapat dipungkiri, walaupun penguasa negeri ini mengucilkannya, peran penting model pendidikan ini justru yang lebih berpengaruh dan kemanfaatan yang dirasakan masyarakat umum lebih nyata. (Tapi maaf tidak kusebut nama pesantren yang aku maksud.  Bukan apa-apa, hanya saja aku segan untuk menyebutnya. Nama yang kotor ini bersanding dengan orang-orang mulia. Malu. Sungguh malu.)
Yang mengherankan dari masyarakat sendiri –pada umumnya, meski mereka sangat mengharapkan sosok santri di wilayahnya, tapi mereka sendiri enggan untuk menyekolahkan anaknya sendiri ke pesantren. Mereka seolah menanyakan mengapa anak-anak di sini “Nggak ada yang mau jadi santri” namun tak pernah menanyakan dirinya sendiri atau anaknya kenapa mereka tidak mau. Maklum secara matematis yang mereka fikirkan benar, namun bukan berarti aku ikut mengamininya. Sama sekali tidak.
Hitungan mereka itu di mataku tak lebih dari hitungan anak kecil yang baru mengenal tambah-menambah, diberi tugas untuk mengalikan. Betapa pun kita memberitahu bahwa lima dikalikan enol sama dengan enol, sebelum benar-benar memahami arti perkalian, mereka akan bersikeras bahwa jawaban kita pun salah. Meski kenyatannya mereka juga tak mengetahui berapa jawaban yang benar. Karena menurut cara pandang mereka, perkalian itu selalu lebih banyak dibandingkan dengan tambah-menambah. Apalagi dalam kasus itu, justru perkalian lebih rendah hasilnya dari pada penambahan. Hal ini jelas belum masuk dalam pikiran logisnya.
***
“Fiq, hidup ya nggak bisa semau guwe gitu. Sebebas-bebasnya hidup tetap ada aturanya. Nggak bisa kita tentukan sendiri,” ucapku menasihati temanku. “Siapa sih yang mau hidupnya sengsara? Nggak ada orang yang mau Fiq. Semua orang inginnya bahagia,” lanjutku penuh semangat. “Kamu mulai sekarang harus berubah. Apalagi kamu sekarang tinggal di pondok yang namanya saja sanggup menggemparkan jagat. Orang baru mendengar kita mondok di sini, kita sudah dianggap bisa segalanya. Intinya kamu mulai sekarang harus berubah. Kebahagiaan yang kamu kejar, yang kamu cari, itu tak bisa kau dapat dengan kemudahan seperti ini.”
“Robert G. Ingersoll bilang, ‘Cara untuk berbahagia ialah dengan membuat orang lain berbahagia.’ Itu berarti juga pengorbanan dari kita. Kalau menurut konsep Aly Haidar, ‘Nikmat yang akan didapatkan dalam sebuah proses akan sepadan dengan kesusahan yang telah dialami. Begitu juga kesengsaraan akan dibalas setimpal sesuai kenikmatan yang telah tergapai.’ Nah, intinya kesengsaraan itu juga menjadi bahan utama untuk menjadikan kita bahagia,” panjang lebar ceramahku.
“Aku ingin ada orang yang bisa merubahku,” Afiq mecoba menjelaskan masalahnya.
“Oh, Jadi kamu pengennya yang instan, yang cepet, nggak mau berubah sendiri?” sejenak aku berhenti untuk mengambil nafas.
“Ya nggak bisa seenaknya gitu. Tetep harus ada usaha!”
“Ya nunggu keajaiban saja!” sanggahnya.
What? Keajaiban! Kamu tahu Fiq, keajaiban yang terjadi kepada seseorang itu prosesnya seperti apa? Tau-tau ada gitu. Tau-tau berubah. Tidak Fiq. Nggak gitu. Seorang yang mendapat keajaiban itu juga mengalami pengorbanan yang mahal. Maaf, bukan bermaksud untuk mendoakan Fiq, ini hanya contoh, orang yang berubah itu adakalanya ibunya meninggal, orang yang dicintainya telah tiada dan lain-lain. Akhirnya dia sadar dan mau berbenah diri, menuju kehidupan yang baik.”
“Sekali lagi ini bukan untuk mendoakan, kalau kamu bersikeras untuk menunggu keajaiban, berarti juga…”
“Sudah-sudah jangan diterusin,” pintanya sebelum kesimpulanku selesai.
Itulah sekelumit sepak terjangku. Begitu lancar bila bertutur kata. Sok pintar mencarikan jalan keluar bila ada seseorang yang sedang menghadapi probema kehidupan. Tak perlu tahu dia sebenarnya membutuhkan hal itu atau tidak. Namun mengapa aku tak mampu menasehati diriku sendiri. Tak bisa mencari solusi sendiri kala aku sedang dirudung duka.
***
Aku tertatih, terpuruk, dan mencoba lagi untuk berdiri. Menatap rahasia sang awan yang terus bergelayutan. Ingin membuncahkan hujan, namun angin selalu menampiknya. Menghantarku ke arah yang tak kuketahui di mana rimbanya. Dan aku tertatih-tatih lagi. Bahkan hampir tak mampu lagi aku gerakkan pergelangan kaki ini. Saat seharusnya kehidupanku telah matang, justru di situ aku seperti anak yang ditinggal Ibunya. Bingung hendak berbuat apa.
Ketika teori telah menumpuk, seakan otak tak mampu lagi untuk menampungnya, saat itu justru kurasakan kegundahan dan kehampaan. Semakin aku tahu di mana saja jalan itu ada, semakin aku tak tahu aku harus menentukan pilihan yang mana jalan yang harus aku tempuh. Mungkin tepatnya bukan tak tahu, tapi tak mampu. Karena aku sendiri sebenarnya enggan, alias tak mau. Tak mau untuk berkorban, tak mau untuk berbuat lebih, tak mau menanggung sedikit kesengsaraan, meski aku yakin itu manis buahnya.
Bahkan aku telah bosan dengan kehidupan ini, meski itu bukan sebuah keputusasaan. Aku punya Tuhan dan aku yakin bahwa Tuhan itu ada, tapi aku semakin tak bisa merasakan keberadaan-Nya. Aku juga yakin segala sesuantu terjadi atas kehendak dan kontrol-Nya, aku juga yakin jika Dia takkan pernah salah akan apa yang Dia lakukan. Aku juga yakin Dia lebih tahu dan lebih mengasihi ciptaan-Nya dari pada semua manusia di bumi ini. Karena aku juga percaya, sebagus apapun kasih sayang seorang mahkluk, hakikatnya itu juga kasih sayang-Nya.
***
Malam masih begitu pekat. Terdengar suara jangkrik yang mengiringi langkahku. Menyebalkan, mengapa mereka seolah menanyakan apa yang membuatku nekat pulang. Bahkan mengejekku, “Mengapa harus pulang? Padahal kami di sini siap menemanimu. Apa karena kami tak mampu memberi keindahan seperti yang biasa kau nikmati dengan ‘kunang-kunang’mu?”
“Apa pedulimu. Kalian tak tahu apa yang sebenarnya sedang kualami,” teriak hatiku memberontak.
Segera aku percepat laju langkahku. Tak perlu aku mendengar apa kata mereka. Biarlah. Aku tetap pulang. Mujurnya, mobil yang aku tunggu segera datang. Tak perlu aku menunggu berlama-lama. Dengan terpaksa aku pergi meninggalkan pondokku tercinta ini.
“Selamat tinggal! See you again. Doakan aku selamat dan segera kembali mengais ilmumu lagi,” ucapku dalam hati.
“Hey,” suara mengagetkanku. “Mengapa hanya karena kunang-kunang itu kau harus pulang?” kutengok kanan-kiri. Kosong. Penumpang baru aku satu-satunya. Ah! Aku hanya berhalusinasi.
***
 “Ada apa kak, kalau lagi suntuk sharing dong. Dengan saling berbagi, siapa tahu beban hidup yang berat ini bisa berkurang. Manusia hidup itu saling membutuhkan, wajar juga kalau nantinya saling merepotkan. Itulah gunannya teman,” serbuku, saat Tina, kakak angkatku, menelpon.
Nggak ah, takut ganggu.”
“Oh, kalau memang masih nganggep aku orang lain ya udah nggak papa kok!”
“Bukan, bukan gitu.”
“Terus?”
Dia terdiam lama, “Aku lagi sebel dek, kakak lagi kecewa.”
“Kenapa kak?”
“Kakak merasa dihianatin. Setiap kali dia janji selalu aja diingkari.”
“Oh!”
Aku diam sejenak membiarkan fikirannya melayang.
“Emang yang nyebabin kecewa itu apa sih kak?” Tanyaku pura-pura nggak tahu.
“Yang nyebabin kecewa? Ya banyak. Merasa dihianatin, diremehin, dan banyak lah.”
“Salah kak,” jawabku spontan. Aku diam lagi memberi kesempatan berfikir dan menyangkal pendapatku.
“Ya nggak seratus persen salah sih kak, cuma kurang tepat aja menurutku. Ada hal yang lebih dominan lagi kok dari itu. Kecewa tidaknya kita, itu tergantung seberapa pengharapan dan kepercayaan yang kita berikan. Itulah letak salahnya, bukankah kita sesama manusia tahu, bahwa porsi kita dalam menggapai dan merencanakan sesuatu hanya sebatas usaha, dan selebihnya milik yang menciptakan kita? Jadi ya kurang pas saja kalu kita berharapnya kepada sesama makhluk. Apalagi harapan yang berlebihan.”
Aku selalu pinter bicara kala menghadapi orang lain, Padahal aku sendiri masih nggak karuan. Aku juga masih bingung menjalani hidupku saat ini. Bahkan kasus yang sama juga pernah kualami sendiri. Aku hanya bisa menasehati seseorang, tapi tidak diriku sendiri.
***
Kuterbangun dari mimpi panjangku. Tak terasa sudah sampai. Masih belum tahu harus menjawab apa saat ditanya tujuan  kepulanganku. Biasanya aku hanya pulang saat liburan saja. Yang jelas tak mungkin aku jawab hanya sekedar untuk bermain-main dengan kunang-kunang. Terlalu konyol.
Rumahku tampak sepi. “Ada apa le, kok tau-tau pulang! Nggak lagi ada apa-apa to?” Tanya Ibuku saatku menghampirinya di dapur. Rasa capek perjalanan sudah hilang. Begitu aku datang Ibu langsung menyuruhku makan dan istirahat.
Nggak kok Bu. Cuma lagi pengen pulang aja.” Jawabku sekenanya. Menutupi segala kegundahan hati.
“Oh, ya sukur kalau cuma mau pulang aja. Mau lama di rumah?”
Nggak Bu, paling lima-lima hari.”
“Tadi Eyang tahu kalau kamu pulang. Kamu sama Eyang suruh main ke rumah Eyang sebelum kembali ke pondok.”
Tumben Eyang nyuruh aku main. Biasanya tak perlu disuruh aku juga main. Minta doa restunya.
Sore itu juga aku main kerumah Eyang. Penasaran, ada apa sebenarnya? Rumahnya masih seperti dulu. Sekilas rumah ini sama dengan Gubuk Tua yang ada di pondok. Bangunan kunonya identik dengan peninggalan Belanda. Hanya saja rumah Eyang lebih terawat. Pintunya tidak ditutup, berarti Eyang lagi di rumah. Aku langsung nylonong masuk, “Assalamualaikum…”
Duuggh… Auuw… kepalaku sakit. Pintu Eyang terlalu rendah. Aku lupa.
Waalaikumussalam…” jawab Eyang sambil tertawa melihatku kesakitan.
“Kok belum liburan udah pulang. Apa nggak dikirim lagi?” sambut Eyang di depan pintu, sebelum aku sempat masuk rumah.
Nggak kok Yang, lagi suntuk aja di pondok. Pengen refresing Yang.”
“Ayo masuk,” ajak Eyang.
Duuggh… Auuw…” lagi-lagi kepalaku terjedot pintu Eyang. “Dasar Rumah Tua!” makiku. Eyang hanya memandangiku sambil tertawa. Lebih keras dari yang tadi.
Kok malah diketawain sih Yang? Sakit nih!” aku protes.
“Ya nggak papa. Cuma heran saja sama kamu.”
“Heran gimana? Lha wong Pintu Eyang yang terlalu pendek! Perasaan dulu Nggak sependek ini.”
“Ha ha ha ha…,” tawa Eyang semakin menjadi. “Bukan pintu Eyang yang berubah atau direndahkan. Tapi kamu yang sudah berubah. Mentang-mentang sudah tinggi, lupa. Sudah Nggak bisa lagi menundukan kepala. Mestinya kalau kamu sudah merasa tinggi, kamu juga harus sadar dan tahu bagaimana caranya menundukkan kepala, biar kepalamu nggak kejedot. Sesuatu yang rendah itu tidak bisa menggapi ke atas. Yang merasa tinggi harus belajar membungkuk, biar hubungan yang bawah dengan yang di atas masih terjalin. Biar nggak merasa hidup ini sendirian. Kalau sudah merasa sendiri, hidup tidak tenang, sumpek dan tidak betah dengan rutinitas yang ada.”
Ah, entah apa yang dibicarakan Eyang. Apa hubungannya sumpek dengan kepalaku kejedot pintu. Aku semakin pusing!!!
Comments
0 Comments