Jumat, 13 Januari 2012

Esensi Nikmat Tuhan


Ternyata esensi nikmat tak hanya sekedar bentuk, tapi lebih kepada rasa.

Saat acara Harlah Al Mahrusiah yang ke sepuluh kebetulan saya ikut menghadirinya. Meskipun dalam keadaan perut yang sudah meminta jatah (lapar). Maklum sejak pagi baru sekali kemasukan Nasi dan biasanya sebelum jam segituan (9 malam) perutku sudah terisi yang kedua kalinya. Tapi ya bukan berarti seperti anak kecil yang hanya telat makan sebentar saja harus mengeluh atau meninggalkan tempat acara begitu saja. Memang sudah menjadi komitment awal kedatanganku yang sebenarnya sudah telat, “harus mendatangi acara itu meski sedang lapar.”
Saat berjalannya acara, lambungku masih belum memahami kondisiku yang tak mungkin mencari makan dan memakannya saat itu juga. Tak mungkin aku meminta panitia untuk menyediakan makanan untukku. Dan tak kusangka sama sekali, ternyata rampungnya acara sampai jam 12 malam-an lebih. Sungguh waktu yang tak sebentar.
Di penghujung acara, aku semakin tak sabar ingin segera pulang. Namun acara penutupannya pun tak kunjung Usai. Pembagian hadiah kunilai terlalu lama. Tentun saja itu hanya penilaianku yang sudah tak sabar ini. Kalau saja dalam kondisi pikiran yang normal, tentu penilaianku berbeda.
Dan Alhamdulillah, usai juga acaranya. Seorang pengurus mendekati kami. Dia mengatakan, “Neng ajeng kundur teng ngandap riyen nggeh.” (Kalau mau pulang singgah di bawah dulu ya. –kurang lebih gitula,, aku juga kurang ahli dalam berbahasa jawa yang halus,kromo-) “Nggeh,”  jawabku singkat. Nggeh artinya iya.
Tak kusangka ternyata sudah disediakan makanan prasmanan walau hanya sederhana. Namun anehnya perut ini seakan tak lagi lapar. Tapi demi menghormati tuan rumah kami pun memakan hidangan itu juga. Yang aneh, rasa lapar yang sejak tadi aku rasakan dan perasaan tidak sabar menanti usainya acara entah pergi kemana. Bukankah harusnya aku senang, saat rasa lapar yang sebelumnya menghimpit, tak perlu jauh-jauh sudah disediain untuk mengisinya.
Tak hanya di situ, bahkan aku merasa enek saat memakan butiran nasi putih itu. Akhirnya aku menyimpulkan satu kalimat untuk itu, “Ternyata esensi nikmat tak hanya sekedar bentuk, tapi lebih kepada rasa.” Letaknya nikmat lebih kepada sehat tidaknya badan ini, bukan sekedar ada atau tidaknya. Nikmat aku artikan lebih kepada bisa menikmati rasa manis, pahit dan lainya dari pada sekedar lidahnya saja.
Sebab apalah arti, jika kesempurnaan raga ini tidak dibarengi dengan kondisi kesehatan yang juga baik dan sempurna. Coba bayangkan, jika diberi kaki tapi tak bisa melangkah, diberi mulut tak bisa bicara, tangan tak bisa menggenggam, dll.
Satu hal kesimpulan yang tak boleh dilupakan; bahwa kita harus selalu bersyukur. Karena masih begitu banyak nikmat Dia kepada kita meskipun dalam kondisi kita yang tidak sempurna. Selama anda masih bisa berfikir, anda masih diberi anugerah yang tak terbandingi oleh apapun.
Comments
0 Comments