Ternyata
esensi nikmat tak hanya sekedar bentuk, tapi lebih kepada rasa.
Saat
acara Harlah Al Mahrusiah yang ke sepuluh kebetulan saya ikut menghadirinya.
Meskipun dalam keadaan perut yang sudah meminta jatah (lapar). Maklum sejak pagi
baru sekali kemasukan Nasi dan biasanya sebelum jam segituan (9 malam) perutku
sudah terisi yang kedua kalinya. Tapi ya bukan berarti seperti anak kecil yang
hanya telat makan sebentar saja harus mengeluh atau meninggalkan tempat acara
begitu saja. Memang sudah menjadi komitment awal kedatanganku yang sebenarnya
sudah telat, “harus mendatangi acara itu meski sedang lapar.”
Saat
berjalannya acara, lambungku masih belum memahami kondisiku yang tak mungkin
mencari makan dan memakannya saat itu juga. Tak mungkin aku meminta panitia
untuk menyediakan makanan untukku. Dan tak kusangka sama sekali, ternyata
rampungnya acara sampai jam 12 malam-an lebih. Sungguh waktu yang tak sebentar.
Di
penghujung acara, aku semakin tak sabar ingin segera pulang. Namun acara
penutupannya pun tak kunjung Usai. Pembagian hadiah kunilai terlalu lama.
Tentun saja itu hanya penilaianku yang sudah tak sabar ini. Kalau saja dalam
kondisi pikiran yang normal, tentu penilaianku berbeda.
Dan
Alhamdulillah, usai juga acaranya. Seorang pengurus mendekati kami. Dia
mengatakan, “Neng ajeng kundur teng ngandap riyen nggeh.” (Kalau mau
pulang singgah di bawah dulu ya. –kurang lebih gitula,, aku juga kurang ahli
dalam berbahasa jawa yang halus,kromo-) “Nggeh,” jawabku singkat. Nggeh artinya iya.
Tak
kusangka ternyata sudah disediakan makanan prasmanan walau hanya sederhana.
Namun anehnya perut ini seakan tak lagi lapar. Tapi demi menghormati tuan rumah
kami pun memakan hidangan itu juga. Yang aneh, rasa lapar yang sejak tadi aku
rasakan dan perasaan tidak sabar menanti usainya acara entah pergi kemana.
Bukankah harusnya aku senang, saat rasa lapar yang sebelumnya menghimpit, tak
perlu jauh-jauh sudah disediain untuk mengisinya.
Tak
hanya di situ, bahkan aku merasa enek saat memakan butiran nasi putih itu. Akhirnya
aku menyimpulkan satu kalimat untuk itu, “Ternyata esensi nikmat tak hanya
sekedar bentuk, tapi lebih kepada rasa.” Letaknya nikmat lebih kepada sehat
tidaknya badan ini, bukan sekedar ada atau tidaknya. Nikmat aku artikan lebih
kepada bisa menikmati rasa manis, pahit dan lainya dari pada sekedar lidahnya
saja.
Sebab
apalah arti, jika kesempurnaan raga ini tidak dibarengi dengan kondisi
kesehatan yang juga baik dan sempurna. Coba bayangkan, jika diberi kaki tapi
tak bisa melangkah, diberi mulut tak bisa bicara, tangan tak bisa menggenggam,
dll.
Satu
hal kesimpulan yang tak boleh dilupakan; bahwa kita harus selalu bersyukur.
Karena masih begitu banyak nikmat Dia kepada kita meskipun dalam kondisi kita
yang tidak sempurna. Selama anda masih bisa berfikir, anda masih diberi
anugerah yang tak terbandingi oleh apapun.