Selasa, 31 Januari 2012

Ternyata Aku Tak Ridlo


(Rumah Tua Eyangku II)

Baru saja kulangkahkan kembali kakiku menapaki bancik-bancik ini. Bancik yang selalu setia menemani dan menjadi pijakan santri-santri kala mereka berangkat sekolah atau mengaji. Tapi pikiran semrawut itu telah kembali memenuhi jaringan otakku. Bak virus ganas yang mengobrak-abrik sistem komputer yang tak di-DeepFreeze. Mengurai benang kusut dengan cara membuangnya bukanlah tindakan bijak sama sekali. Segala permasalahan meskinya aku hadapi, bukan aku hindari. “Mana kekuatan bancik yang kamu jadikan sebagai pijakanmu? Atau mungkin mata hatimu telah buta, sehingga tak tahu mana yang bancik dan mana yang ternyata kayu rapuh?” pikiranku kacau.
Aku kadang malu dengan diriku sendiri, apalagi pada orang yang tanpa mereka sadari telah aku bujuk untuk membagi kisahnya dengan sok bijak dalam menghadapi segala masalah. Dan meski aku suka mendengarkan teman-temanku curhat, nyatanya aku sendiri tak pernah berbagi dengan mereka. Hanya lewat tulisan ini aku berkisah. Hanya lewat tulisan ini aku berkeluh kesah. Karena aku yakin kau tak mengenalku. Aku yakin tulisan ini tak akan menimbulkan simpatimu untuk peduli kepadaku. Karena kau tak mengenalku. Bahkan kau bukan orang yang hidup sezaman denganku. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Apa gunanya aku harus pulang, jika setalah kembali pun aku tak mendapat jalan keluarnya?

Jumat, 13 Januari 2012

Rumah Tua Eyangku


Tak tahu harus kumulai dari mana aku ceritakan kisah piluku. Sebelum akhirnya aku putuskan untuk mencoret-coret lembaran lusuh ini, keadaanku sungguh memprihatinkan. Bukan karena sakit atau tak makan selama seminggu. Yang memprihatinkan sesungguhnya bukan aku dan ragaku, melainkan jiwa dan hati yang ada di dalamnya. Semua orang di dekatku mengira aku masih seperti biasa. Tapi tidak batinku sendiri. Aku sungguh tersiksa dengan keadaan ini. Kuharap dengan menuliskannya sedikit terobati.
Diantara jutaan bahkan trilyunan makhluk ciptaan Tuhan di dunia ini, hanya kau yang tahu. Hanya orang yang menemukan tulisan lusuh ini dan mau membacanya. Kaulah orang sepesial bagiku. Terimakasih karena kau mau mendengarkan keluh kesahku. Meski aku takkan tahu kapan kau akan menemukannya, dan apakah lembaran ini masih utuh atau tidak, namun aku cukup bahagia kau mau membacanya. Sekali lagi terimakasih.

***

Esensi Nikmat Tuhan


Ternyata esensi nikmat tak hanya sekedar bentuk, tapi lebih kepada rasa.

Saat acara Harlah Al Mahrusiah yang ke sepuluh kebetulan saya ikut menghadirinya. Meskipun dalam keadaan perut yang sudah meminta jatah (lapar). Maklum sejak pagi baru sekali kemasukan Nasi dan biasanya sebelum jam segituan (9 malam) perutku sudah terisi yang kedua kalinya. Tapi ya bukan berarti seperti anak kecil yang hanya telat makan sebentar saja harus mengeluh atau meninggalkan tempat acara begitu saja. Memang sudah menjadi komitment awal kedatanganku yang sebenarnya sudah telat, “harus mendatangi acara itu meski sedang lapar.”