(Rumah Tua Eyangku II)
Baru saja kulangkahkan kembali kakiku
menapaki bancik-bancik ini. Bancik yang selalu setia menemani dan menjadi
pijakan santri-santri kala mereka berangkat sekolah atau mengaji. Tapi pikiran
semrawut itu telah kembali memenuhi jaringan otakku. Bak virus ganas yang
mengobrak-abrik sistem komputer yang tak di-DeepFreeze. Mengurai benang kusut
dengan cara membuangnya bukanlah tindakan bijak sama sekali. Segala
permasalahan meskinya aku hadapi, bukan aku hindari. “Mana kekuatan bancik yang
kamu jadikan sebagai pijakanmu? Atau mungkin mata hatimu telah buta, sehingga
tak tahu mana yang bancik dan mana yang ternyata kayu rapuh?” pikiranku kacau.
Aku kadang malu dengan diriku sendiri,
apalagi pada orang yang tanpa mereka sadari telah aku bujuk untuk membagi
kisahnya dengan sok bijak dalam menghadapi segala masalah. Dan meski aku suka
mendengarkan teman-temanku curhat, nyatanya aku sendiri tak pernah berbagi
dengan mereka. Hanya lewat tulisan ini aku berkisah. Hanya lewat tulisan ini
aku berkeluh kesah. Karena aku yakin kau tak mengenalku. Aku yakin tulisan ini
tak akan menimbulkan simpatimu untuk peduli kepadaku. Karena kau tak
mengenalku. Bahkan kau bukan orang yang hidup sezaman denganku. Apa yang sebenarnya
terjadi padaku? Apa gunanya aku harus pulang, jika setalah kembali pun aku tak
mendapat jalan keluarnya?