(Rumah Tua Eyangku II)
Baru saja kulangkahkan kembali kakiku
menapaki bancik-bancik ini. Bancik yang selalu setia menemani dan menjadi
pijakan santri-santri kala mereka berangkat sekolah atau mengaji. Tapi pikiran
semrawut itu telah kembali memenuhi jaringan otakku. Bak virus ganas yang
mengobrak-abrik sistem komputer yang tak di-DeepFreeze. Mengurai benang kusut
dengan cara membuangnya bukanlah tindakan bijak sama sekali. Segala
permasalahan meskinya aku hadapi, bukan aku hindari. “Mana kekuatan bancik yang
kamu jadikan sebagai pijakanmu? Atau mungkin mata hatimu telah buta, sehingga
tak tahu mana yang bancik dan mana yang ternyata kayu rapuh?” pikiranku kacau.
Aku kadang malu dengan diriku sendiri,
apalagi pada orang yang tanpa mereka sadari telah aku bujuk untuk membagi
kisahnya dengan sok bijak dalam menghadapi segala masalah. Dan meski aku suka
mendengarkan teman-temanku curhat, nyatanya aku sendiri tak pernah berbagi
dengan mereka. Hanya lewat tulisan ini aku berkisah. Hanya lewat tulisan ini
aku berkeluh kesah. Karena aku yakin kau tak mengenalku. Aku yakin tulisan ini
tak akan menimbulkan simpatimu untuk peduli kepadaku. Karena kau tak
mengenalku. Bahkan kau bukan orang yang hidup sezaman denganku. Apa yang sebenarnya
terjadi padaku? Apa gunanya aku harus pulang, jika setalah kembali pun aku tak
mendapat jalan keluarnya?
Tapi semestinya tak perlu terlalu banyak aku
menyesali apa yang telah aku jalani. Toh menurutku, “Pengalaman, betapa dan
bagaimana pun pahitnya, adalah harta termahal yang pernah aku beli.” So,
jangan sampai harta termahal itu kubiarkan begitu saja tanpa guna. Sebab dalam
kamus hidupku, murah atau mahalnya sesuatu yang aku miliki tergantung atas
besar-kecil kegunaannya. Bukan berapa biaya yang harus aku keluarkan. Semakin
banyak uang, pengorbanan, dan usaha yang aku keluarkan untuk mendapatkannya,
maka harus semakin pintar pula aku menggunakannya, agar aku tak pernah merasa
rugi. Begitu juga sebaliknya, semakin banyak aku memanfaatkan harta itu, maka
semakin tambah pula aku menghargainya.
Ya, meski pulangku waktu itu mungkin tak ada
dampak nyata –mendapat jalan keluar dari pikiran buntuku-, paling tidak aku
bisa sejenak lebih tenang sebelum kemudian menanggung beban itu lagi. Persis
seperti biasa ketika aku merayu mereka. Hanya sedikit perbedaan bahasa saja.
Aku masih teringat ketika Kak Tina –yang
lain pun sebenarnya sama, lagi banyak masalah dan belum mau berbagi denganku.
“Lagi kenapa kak? Kayaknya pusing banget!” basa-basiku.
“Kakak lagi banyak pikiran aja dek,”
jawabnya datar.
“Ya cerita dong Kak!” pintaku.
“Nggak ah, paling kamu juga Nggak kan
ngerti.”
“Cerita aja apa salahnya Kak. Meski nantinya
aku nggak bisa ngasih solusi, tapi paling tidak dengan Kakak bercerita,
Kakak bisa meletakkan beban itu sejenak sebelum memikulnya kembali. Miskipun
beban itu sama, dengan kita meletakkan sejenak dan mengumpulkan sisa-sisa tenaga
yang kita miliki, maka beban yang terasa berat itu akan terasa ringan lagi.”
Seperti biasa, sepusing dan seberat apapun
pikiran ini, jika sudah berbicara tentang orang lain, mencoba menganalisa dan
memahami masalah yang sedang mereka hadapi, maka seolah-olah aku tak mempunyai
beban pikiran. Dan masih seperti biasa pula, sebagus apapun nasehatku, aku
masih juga belum bisa menerapkan untuk diriku sendiri. Sampai kapan? Yang jelas
aku sudah bosan dengan kondisi ini !
*****
Jika biasanya teman-temanku pulang dan
kembali ke pondok dengan membawa buah tangan sekedar menyenangkan teman-teman
pondok yang jauh dari makanan istimewa, jauh dari fikiran berfoya-foya dan
kesenangan sesaat belaka, kini aku justru membawa setumpuk pikiran yang
menambahi bebanku. Aku tak tahu kenapa aku jadi peduli dengan kondisi negaraku
saat ini. Bisa jadi bermula dari kabar-kabar dari media masa yang sewaktu di
pondok tak pernah aku terima. Dengan jadwal aktifitas di pondok yang begitu
padat, aku sendiri memang enggan untuk mengikuti berita lewat teman-temanku
yang terbiasa membaca koran. Aku juga enggan mendengarkan gosip-gosip dari
teman santri yang tinggalnya di luar arena pondok.
Biasanya aku hanya berfikir dan bingung hendak
berbuat apa melihat segala sesuatu yang terjadi di sekitarku. Sebagai senior
–walau masih ada yang lebih senior lagi, aku hanya prihatin dengan kebiasaan
adik-adik kelasku yang jauh dari apa yang aku lakukan dulu. Tingkat usaha
mereka jauh dari setandarku, meski dulu aku juga merasa terpojokkan oleh
senior-seniorku menanggapi minimnya usahaku di mata mereka. Kadang aku berfikir,
“Mungkin memang ini yang dijanjikan Nabi, bahwa kurun waktu setelah beliau akan
selalu mengalami penurunan.” Tapi bukanlah hidup di pondok itu akan lebih baik
dari pada harus di luar?
Fokus pikiranku mulai bercabang melihat
ketimpangan di pemerintahan negriku. Aku tak habis pikir, kenapa bagi mereka
ijazah, gelar sarjana, dan kertas-kertas semacam itu lebih penting dari pada
skill? Kenapa mereka tak bisa melihat bahwa yang lebih tahu persoalan agama
adalah insan pesantren bukan mereka yang duduk di universitas? Kenapa dalam
urusan agama pun mereka mengangkat pegawai negeri harus dari universitas tanpa
melirik alumni pesantren yang lebih intens mempelajari permasalahan agama? Kenapa
pula dari dulu pendidikan pesantren masih saja dikucilkan, bukankah pesantren
juga berperan dalam rangka mencerdaskan bangsa?
Seribu pertanyaan memenuhi otakku. Ada apa
dengan negaraku? Ada apa dengan bumi tanah kelahiranku ini?
Ah, memikirkan polemik negeri ini hanya membuatku
emosi. Sudah cukup lama bangsa ini merdeka, tapi masih saja kulihat ketimpangan
dimana-mana. Ruh pancasila yang dirancang oleh para pejuang setelah merdekanya
bangsa ini dan aku yakin itu juga yang diharapkan pendahulu mereka sampai harus
menghempuskan nafas terakhir, belum aku rasakan. Sama sekali belum. Kadang
terlintas dalam pikiranku, “Kalau saja nenek moyangku dulu tak mati-matian
berjuang demi melihat anak cucunya hidup bahagia, kalau saja pahlawan tidak
mengorbankan jiwa raganya demi merdekanya bangsa ini, kalau saja aku tidak
terlahir dari rahim seorang ibu yang begitu besar kasih sayangnya, kalau saja
ayahku tidak pernah menanamkan rasa kepedulian kepada sesama sejak aku dini,
kalau saja guru mengajiku tak pernah mengajari akan arti hubbul wathan
dan apa yang semestinya aku persemabahkan untuk tanah kelahiranku, kalau
saja... ah..!” aku capek sendiri. Tidak. Aku tidak mau menjadi pecundang yang
selalu bersembunyi dibalik fatamorgana yang aku buat sendiri.
*****
Ya Allah, kini aku sadar memang tak sedikit
kecerobohan dan kesalahanku. Ya Tuhan, dengan sedikit pengetahuan ini hamba-Mu
telah takabbur. “Wa ikhfidl janahaka li adzdzuli..” sungguh aku baru mengerti. Mungkin ini juga
yang hendak disampaikan Eyangku kala aku pulang dulu. Teguran yang disampaikan
Rumah Tua Eyangku. Aku masih ingat betul bagaimana dengan anehnya Eyangku hanya
menertawakanku yang harus terbentur pintu sampai tiga kali. Apalagi tawanya
yang terakhir membuatku merasa asing. Seakan aku bukan cucunya yang biasanya selalu
dikasihi. Tanpa menghiraukanku, Eyang hanya berujar sambil meninggalkanku yang
menahan sakit di bawah bibir pintu, “Ingat dan angan-angan kata Eyangmu tadi le,
‘Yang merasa tinggi harus belajar membungkuk’.
Nanti kamu akan paham sendiri.”
Maafkan aku Eyang. Cucumu telah berani
berburuk sangka dengan ihwal Eyang. Harus aku akui, selama ini aku sudah
merasa mempunyai hidupku sendiri. Aku merasa yang berhak mengatur hidupku
adalah aku sendiri. Tidak ada orang lain yang berhak mengaturku, apalagi
menghalangi jalan hidupku. Aku adalah aku. Aku tidak butuh orang lain lagi
untuk ikut campur urusanku. Yang penting aku tidak merugikan mereka, aku tidak
menghalang-halangi keinginan mereka, aku tidak berbuat salah kepada mereka sudah
cukup. Aku hanya tak mau diganggu apa yang akan aku lakukan untuk diriku
sendiri. Aku tak lagi bisa melihat dengan berbagai sudut pandang. Aku tersudut
di tebing sudut pandangku sendiri. Aku terjerat oleh tali yang tak kusadari aku
sendiri yang memasangnya.
Kututup mushaf yang sedari tadi
menemani kesendirianku. Malam yang sunyi, dengan udara yang begitu sejuk,
membelai-belai wajahku yang mulai kusut karena terlalu banyak berfikir. Wajahku
yang menua sebelum waktunya. Bisa dimaklumi, sejak kecil aku sudah terbiasa
berfikir. Memikirkan apa saja yang ada dihadapanku. Peristiwa yang terjadi di
sekelilingku tak pernah luput dari sorotan pikiranku. Aku selalu punya pendapat
dengan apa yang terjadi di sekelilingku. Pendapat yang murni dari pikiran
polos. Pendapat yang tak pernah aku ketahui dari mana sumber dan dasarnya.
Karena aku memang tak begitu suka untuk mengingat dari mana data itu aku
peroleh.
Kau jangan tanya, soal analisa –bukan bermaksud
sombong- aku selalu lebih tepat dibanding teman-temanku. Meski aku akui
keakuratan analisaku, aku sering hanya berhenti di situ. Aku –sampai saat ini-
belum bisa berbuat banyak untuk mewujudkan semua yang menjadi impianku. Hasil
analisa yang seharusnya aku kerjakan sekarang. Kau sudah tahu masalahnya bukan?
Aku baru bisa berangan-angan dan merencanakan. Belum untuk membuktikan dan
merealisasikannya.
Suasana..., aku masih saja terjebak dengan
suasana. Menyalahkan keadaan yang kurang memungkinkan. Padahal dari dulu aku
sudah mencoba untuk menasehati diri sendiri bahkan sudah tak ada lagi celah
untuk menyangkal kesimpulanku. Kesimpulan akhirku yang aku anggap sempurna, bahwa
apa saja yang aku dan semua orang hadapi tak pantas sama sekali untuk
menyalahkan kondisi. Tak sedikit juga cerita orang-orang sukses yang berasal
dari keluarga yang tak mampu. Banyak dari keterbatasan mereka yang justru
menghasilkan karya yang fenomenal. Dari golongan penulis saja yang masih aku
ingat juga tak sedikit. Buya Hamka menyelesaikan Novelnya di tempat pengasingan
kurasa juga bukan kondisi yang lebih baik dariku.
Aku juga sangat setuju dengan kaidah fiqh
Imam Syafi’i. Simpel tapi aku tak pernah lagi bisa menyangkal dan mengelak dari
kebenarannya, “Idza dlaqa al amru ittasa’ wa idza ittasa’a dlaqa.” Beliau menerangkan hukum suatu
permasalahan yang terlalu luas pasti menyempit dan sesuatu yang terlalu sempit
pasti meluas. Dan dalam versi Imam al-Ghozaly digubah menjadi, “Idza
tajawaaza al almru ‘an haddihi in’akasa ‘ala dliddihi.” Bahkan aku juga telah membuat bahasa
sendiri untuk memudahkan aku memahami dan supaya aku tak berlama-lama
menyalahkan kondisi. “Ketika dalam keadaan fasilitas dan waktu yang terbatas
kamu tidak bisa menyelesaikannya, maka jangan harap kamu bisa melakukan ketika
semua itu ada.”
Lagi-lagi rupanya aku belum bisa
mengaplikasikannya untuk diriku sendiri.
*****
Malam ini aku benar-benar merasa tertegur.
Terlalu lama aku melihat masalah yang terjadi di sekelilingku dengan dimensi
aku yang bebas. Bukan aku sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang selalu tunduk dan
patuh dengan segala ketentuan-Nya. Padahal kau sudah tahu bukan, saat aku
berbicara dengan orang lain aku juga sering membawa nama Tuhan untuk menguatkan
pendapatku. Teman sekelasku saja pernah kena marah dan pemojokan dari ceramah-ceramahku.
“Zy, dari kemarin kamu nggak ngerti juga dengan apa yang kumaksud,” aku masih
ingat begitu nyata kejadian itu. Seolah opsi terakhir untuk meneruskan
persahabatan itu atau mengakhirinya.
“Dah gini aja, kamu tidak pernah
merasa membohongiku?” terangku. Sebelumnya aku hanya menggunakan bahasa kinayah
yang tak dia pahami.
“Maaf, waktu itu hanya bercanda. Tak ada
maksud untuk berbohong,” Rozy menerangkan duduk permasalahannya.
“Oke, oke. Sekarang beginikah cara kamu
memperlakukan temanmu? Aku tidak menyesalkanmu yang bermaksud bercanda. Yang
aku sesalkan, kenapa setelah drama itu selesai, kamu tidak pernah klarifisikan
hal itu? Yang lebih menyakitkan lagi, kenapa setelah mereka semua yang terlibat
meminta maaf, tak ada satu patah kata pun keluar dari mulutmu. Bukankan sudah
selayaknya jika seorang sahabat lebih dulu memberitahukan bahwa yang dilakukan
adalah sebuah candaan sebelum aku tahu dari orang lain yang belum lama aku
kenal?” semakin semangat aku memojokkannya.
“Ya udah, aku minta maaf.”
“Enak saja tinggal bilang maaf?”
“Lha terus gimana?” Rozy mulai
bingung, melihatku yang masih berapi-api.
Aku terdiam sejenak untuk mengendorkan
urat-urat sarafku, “Zy, tanpa kamu meminta maaf pun aku sudah memaafkan. Hanya
saja jika memang kamu adalah temanku dan aku juga kamu anggap sebagai temanmu semestinya
nggak seperti itu. Yang aku ingin hanya ucapan maaf sebagai tanda bahwa aku
masih kamu hargai sebagai seorang sahabat. Hanya itu saja,” kukecilkan volume
suaraku.
“Makasih ya,” wajahnya mulai riang.
“Nanti dulu,” selaku ditengah senyumnya yang
semakin melebar.
“Apalagi salahku,” sebagian wajahnya kembali
pucat.
“Semua kejadian itu tidak akan ada artinya
jika kita tak pernah mau belajar dengannya. Jika kita pernah bersalah, ya
memang porsi kita sebagai manusia, bukan malaikat yang tak pernah berdosa. Tapi
jangan berhenti di situ. Kita sebagai makhluk yang dibekali akal juga tak
sepantasnya jika sampai terjatuh dilubang sama. Koreksi bersama dulu, kenapa
semua itu harus terjadi. Dan kalau aku amati, semua bermula dari cewek bukan?”
“Ingat Zy!,” lanjutku tanpa menunggu respon
darinya. “Kita boleh saja punya rasa cinta, tapi jangan sampai mengalahkan
segalanya.”
“Aku nggak gitu,” tangkasnya
menyelah-nyelahi
“Kalau memang tidak, semestinya kamu tidak
akan berbohong hanya karena menuruti keisengan cewek itu. Bukankah Tuhan
melarang kita untuk berdusta?”
Aku tersenyum sendiri sekaligus geli
mengingat kejadian itu. Mengapa masih begitu sulit untuk memahami diriku
sendiri. Bukankah aku sendiri juga melupakan semua? Aku hanya berfikir apa yang
terjadi terhadap diriku saja. Padahal dibalik itu semua tak pernah terlepas
dari “kerja” Tuhan.
Memang sudah saatnya melakukan relaksasi
untuk membenahi sistem otakku yang terkena virus ini. Mudah-mudahan di tempat
relaksasi terindah itu aku mendapatkan jwabannya. Kupaksakan kakiku melangkah
meninggalkan Gubuk Tua yang telah lama mengurungku dalam kesendirian. Sendiri
dalam bertindak, sendiri dalam memutuskan segala persoalanku. Masjid tua
pondokku, maafkan atas kealpaanku akhir-akhir ini.
Sungguh tak pernah aku temui kedamaian
sedamai di dalam masjid, terutama masjid ini, diantara msjid-masjid yang aku
temui. Meski sudah tua dan tanpa kemegahan fasilitas, masjid ini sungguh
menyuguhkan relaksasi terdalam. Walau tanpa AC, masjid ini sejuk, bahkan
sejuknya menembus relung hati dan mendingikan deras panasnya arus pikiran
melaju. Segala pikiran semrawut berangsur-angsur mulai memudar. Menggugah
keinginan tidur malam yang selama ini tak lagi aku rasakan
*****
“Seng ridlo le! Yang penting sekarang
bukan mencemooh dan mencela pemerintahan yang sedang kacau ini. Sudah terlalu
banyak orang yang menghina. Banyak orang yang nggak suka. Bukan itu yang
dibutuhkan negeri ini. Dan bukan itu pula yang diharapkan oleh Pahlawan dulu.
Negeri ini milik kita semua. Bukan milik orang-orang yang berkuasa saja le.
Semua orang yang berada di dalam wilayah republik ini harus mempunyai rasa
tanggungjawab untuk memenuhi keinginan mereka. Bukan hanya presiden. Bukan
hanya mereka yang menduduki jabatan pemerintahan. Tapi semua orang yang merasa
sebagai warga Negara ini punya kewajiban yang sama.”
“Ayo dengan kepedulian itu kita majukan
bangsa ini. Kita mulai dengan apa yang bisa kita lakukan, bukan apa yang bisa kita
omongkan. Ini Negara le, bukan tim sepak bola yang membatasi
hanya sebelas orang saja yang boleh bermain. Kita semua punya hak dan kewajiban
yang sama untuk membesarkan dan menjaganya. Jangan seperti mahasisiwa-mahasiswa
yang sukanya hanya demo. Meski itu baik secara bahwa mereka juga peduli, tapi kepedulian
itu seharusnya jangan cuma berhenti di situ. Butuh pengorbanan, butuh
perbuatan. Bukan hanya mulut saja yang bicara.”
Antara sadar dan tidak, terdengar suara
orang tua menasehatiku. Siapa dia, aku tak tahu. Tapi aku solah sudah akrab dan
mengenal suara ini. Kutengok kanan kiri, semua orang masih khusyuk, salat,
berdzikir, atau berdoa, seperti semula aku menginjakkan kaki di masjid ini.
Tiba-tiba aku kembali teringat saat temanku,
Ika, mengabarkan kapan dia akan menikah dan meminta doa agar semuanya
lancar-lancar saja sampai proses pernikahan itu selesai. Tidak seperti bagaimana
kebiasaan orang menanggapi dan menjawab pertanyaan yang sama, bahkan juga baru
kali itu aku menjawab dengan jawaban yang aneh. Tidak biasa. “Ya mudah-mudahan
bisa ridlo dengan apa yang diberikan-Nya dan diridloi-Nya pula,” jawabanku
singkat. “Loh yang terpenting dalam hidup ini ‘kan ya itu to?
Radlia Allhu ‘anhum wa radluu ‘anhu. Allah meridloi apa yang kita
lakukan dan kita bisa ridlo dengan segala kehendak-Nya. Sudah cukup. Jangan
terlalu banyak keinginan,” lanjutku setelah dia tampak bingungan dengan
jawabanku.
Aliran air mata mengiringi sujudku, “Ya
Allah, ampunkan aku. Aku tak bermaksud untuk tak Ridlo dengan semua takdirMu?”