Rabu, 31 Oktober 2012

Menyoal Agen Perubahan



Beberapa waktu lalu M. Nuh, Mendikbud, menggulirkan wacana tentang 2045 mendatang sebagai golden year lewat pendidikan yang digagasnya saat ini. Walau realitanya pendidikan dan segala problematikannya tak kunjung usai namun tak ada salahnya kita sebagai anak bangsa ikut mengamini serta mendukung.

Tahun 2045, ya, di tahun itu Indonesia genap sudah genap berusia satu abad sejak dibacakan teks proklamasi oleh ‘Sang Pendiri Bangsa’ ini. Sejak saat itu banyak –untuk tidak mengatakan semua-,  yang bilang Indonesia telah merdeka. Meski tak semua orang sudah merasakan udara kemerdekaan itu.
Apapun komentar masyarakat perbedaan pendapat itu (khilaf) hanyalah syakliy1 saja. Artinya perbedaan itu tak sampai mempengaruhi ke esensi. Sebab perbedaan itu muncul dari ketidaksepakatan dalam mengartikan arti kata merdeka itu sendiri.
Jika merdeka diartikan sebagai keabsahan berdirinya bangsa ini dan kebebasan bangsa ini dalam mengambil kebijakan sendiri, tentu mereka sepakat bahwa Indonesia telah merdeka. Walau masih memungkinkan penyangkalan bahwa Indonesia belum bisa merdeka dari interferensi bangsa lain.
Tapi pendapat ini sangat lemah bahkan ngawur. Sebab Indonesia punya hak untuk menentukan mana yang terbaik baginya. Hanya saja ketidakmampuan Indonesia untuk menetukan arah sendirilah yang mempengaruhi campur tangn dari Negara lain yang kadang mendesak untuk membuat kebijakan yang tak berpihak pada bangsa ini sendiri.
Ini bukanlah penjajahan. Tapi kemandirian dan kedewasaan bangsa ini yang belum matang. Ibarat anak kecil yang merasa dibohongi saat dihadapkan dengan pilihan yang menyulitkan. Padahal bisa jadi dia bisa mengambil keputusan yang munguntungkan dirinya, atau bahkan yang membuat orang lain yang harus menentukan pilihan, bukan dirinya.
Dan jika kemerdekaan diartikan sebagai kemajuan bangsa ini yang signifikan dan kemakmuran seluruh rakyatnya seperti yang dimandatkan dalam Pancasila sebagai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka mereka pun sepakat bahwa Indonesia belumlah merdeka.
Masih banyak PR bagi penerus perjuangan bangsa ini yang harus segera diselesaikan. Di antaranya ketimpangan sosial yang terjadi dimana-mana. Termasuk dalam dunia pendidikan. Lebih-lebih bila ditarik ke ranah hukum dan praktek korup yang semakin merajalela.
Terlepas dari semua omong kosong itu ada hal yang lebih urgen untuk dibahas, diputuskan dan selanjutnya untuk ditindaklanjuti. Yaitu bagaimana membawa bangsa ini lebih maju. Tidak mandeg atau berjalan di tempat saja.
Tantangan dan tanggung jawab siapa?
 M. Nuh tampaknya juga menyadari hal ini. Bahwa perubahan ini tak bisa diharapkan dari tetua-tetua bau tanah yang bersikeras untuk maju pilpres 2014 mendatang, tapi dari generasi muda saat ini.
Kelihatannya pula M. Nuh juga menyadari bahwa kaum muda ini saja tidaklah cukup. Oleh karenanya dibutuhkan pemuda yang terpelajar yang mampu menghadapi perubahan global masa depan. Dan tentunya yang bermental baja, berpendirian, dan berkarakter kuat. Namun yang terakhir ini sepertinya belum sepenuhnya dipahami oleh M. Nuh.
 Tak hanya M. Nuh, mereka yang mempunyai wewenang dalam menetukan kualitas generasi bangsa ini juga kurang menyadari. Bahkan seluruh elemen masyarakatnya. Mengapa?
Kebijakan pemerintah mengenai ujian nasional yang banyak ditolak, diolok-olok, dan dinilai tak bijak itu tak mengikut sertakan pelajaran agama. Di sisi lain pendidikan agama di sekolah-sekolah umum hanyalah sampingan atau dikesampingkan. Hal itu  tampak dari pembagian jam pelajaran yang hanya memberi ruang dua jam pelajaran dalam seminggu.
Belum lagi melihat praktek di lapangan dengan diadakan ujian nasional itu beberapa oknum guru ‘menghalalkan’ pelanggaran norma yang semenjak dulu sangat dijaga. Berbuat curang, culas, dsb. demi pengakuan kelulusan dari Negara. Yang lebih menyakitkan itu dilakukan oleh seorang guru kepada anak didiknya. Lebih-lebih di umur mereka yang masih belia.
Di hadapan pemerintah masyarakat kita kini tak lebih dari sapi yang dicocok hidungnya. Mereka akan mengikut saja apa yang pemerintah putuskan tanpa harus menyaring dan menimbang dampaknya terlebih dahulu. Mereka hanya mengekor seperti anak kerbau yang takut ditingal induknya.
Lantas siapa yang bisa diharapkan menjadi agen perubahan untuk mewujudkan golden year 2045 kelak?
[maaf tulisan ini mungkin terlalu lama, semoga belum telat dan masih ada guna]
Comments
0 Comments