Beberapa
waktu lalu M. Nuh, Mendikbud, menggulirkan wacana tentang 2045 mendatang
sebagai golden year lewat pendidikan yang digagasnya saat ini. Walau
realitanya pendidikan dan segala problematikannya tak kunjung usai namun tak
ada salahnya kita sebagai anak bangsa ikut mengamini serta mendukung.
Tahun
2045, ya, di tahun itu Indonesia genap sudah genap berusia satu abad sejak dibacakan
teks proklamasi oleh ‘Sang Pendiri Bangsa’ ini. Sejak saat itu banyak –untuk
tidak mengatakan semua-, yang bilang
Indonesia telah merdeka. Meski tak semua orang sudah merasakan udara
kemerdekaan itu.
Apapun
komentar masyarakat perbedaan pendapat itu (khilaf) hanyalah syakliy1
saja. Artinya perbedaan itu tak sampai mempengaruhi ke esensi. Sebab perbedaan
itu muncul dari ketidaksepakatan dalam mengartikan arti kata merdeka itu
sendiri.
Jika
merdeka diartikan sebagai keabsahan berdirinya bangsa ini dan kebebasan bangsa
ini dalam mengambil kebijakan sendiri, tentu mereka sepakat bahwa Indonesia
telah merdeka. Walau masih memungkinkan penyangkalan bahwa Indonesia belum bisa
merdeka dari interferensi bangsa lain.
Tapi
pendapat ini sangat lemah bahkan ngawur. Sebab Indonesia punya hak untuk
menentukan mana yang terbaik baginya. Hanya saja ketidakmampuan Indonesia untuk
menetukan arah sendirilah yang mempengaruhi campur tangn dari Negara lain yang
kadang mendesak untuk membuat kebijakan yang tak berpihak pada bangsa ini
sendiri.
Ini
bukanlah penjajahan. Tapi kemandirian dan kedewasaan bangsa ini yang belum
matang. Ibarat anak kecil yang merasa dibohongi saat dihadapkan dengan pilihan
yang menyulitkan. Padahal bisa jadi dia bisa mengambil keputusan yang
munguntungkan dirinya, atau bahkan yang membuat orang lain yang harus
menentukan pilihan, bukan dirinya.
Dan
jika kemerdekaan diartikan sebagai kemajuan bangsa ini yang signifikan dan
kemakmuran seluruh rakyatnya seperti yang dimandatkan dalam Pancasila sebagai keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, maka mereka pun sepakat bahwa
Indonesia belumlah merdeka.
Masih
banyak PR bagi penerus perjuangan bangsa ini yang harus segera diselesaikan. Di
antaranya ketimpangan sosial yang terjadi dimana-mana. Termasuk dalam dunia
pendidikan. Lebih-lebih bila ditarik ke ranah hukum dan praktek korup yang
semakin merajalela.
Terlepas
dari semua omong kosong itu ada hal yang lebih urgen untuk dibahas, diputuskan
dan selanjutnya untuk ditindaklanjuti. Yaitu bagaimana membawa bangsa ini lebih
maju. Tidak mandeg atau berjalan di tempat saja.
Tantangan dan tanggung jawab siapa?
M.
Nuh tampaknya juga menyadari hal ini. Bahwa perubahan ini tak bisa diharapkan
dari tetua-tetua bau tanah yang bersikeras untuk maju pilpres 2014 mendatang,
tapi dari generasi muda saat ini.
Kelihatannya
pula M. Nuh juga menyadari bahwa kaum muda ini saja tidaklah cukup. Oleh
karenanya dibutuhkan pemuda yang terpelajar yang mampu menghadapi perubahan
global masa depan. Dan tentunya yang bermental baja, berpendirian, dan
berkarakter kuat. Namun yang terakhir ini sepertinya belum sepenuhnya dipahami
oleh M. Nuh.
Tak hanya M. Nuh, mereka yang mempunyai
wewenang dalam menetukan kualitas generasi bangsa ini juga kurang menyadari.
Bahkan seluruh elemen masyarakatnya. Mengapa?
Kebijakan
pemerintah mengenai ujian nasional yang banyak ditolak, diolok-olok, dan dinilai
tak bijak itu tak mengikut sertakan pelajaran agama. Di sisi lain pendidikan
agama di sekolah-sekolah umum hanyalah sampingan atau dikesampingkan. Hal
itu tampak dari pembagian jam pelajaran
yang hanya memberi ruang dua jam pelajaran dalam seminggu.
Belum
lagi melihat praktek di lapangan dengan diadakan ujian nasional itu beberapa
oknum guru ‘menghalalkan’ pelanggaran norma yang semenjak dulu sangat dijaga.
Berbuat curang, culas, dsb. demi pengakuan kelulusan dari Negara. Yang lebih
menyakitkan itu dilakukan oleh seorang guru kepada anak didiknya. Lebih-lebih
di umur mereka yang masih belia.
Di hadapan
pemerintah masyarakat kita kini tak lebih dari sapi yang dicocok hidungnya.
Mereka akan mengikut saja apa yang pemerintah putuskan tanpa harus menyaring
dan menimbang dampaknya terlebih dahulu. Mereka hanya mengekor seperti anak
kerbau yang takut ditingal induknya.
Lantas siapa yang bisa diharapkan menjadi agen perubahan untuk mewujudkan golden
year 2045 kelak?
[maaf tulisan ini mungkin terlalu lama, semoga belum telat dan masih ada guna]
[maaf tulisan ini mungkin terlalu lama, semoga belum telat dan masih ada guna]